Sikap Tegas Menyikapi Penguasa Zalim
PENGUASA ZALIM, BAGAIMANA MENYIKAPINYA?
Allah SWT berfirman:
“janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka. Sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan”
(Qs. Hud [11]: 113).
Imam al-Qurthubi menafsirkan kata wa laa tarkanuu dengan ungkapan, “janganlah kalian menyandarkan diri,” atau, “janganlah kalian berdiam diri terhadap sesuatu atau meridoainya, “Sedangkan Qatadah dan ikrimah menafsirkannya dengan menyatakan”janganlah kalian berkasih sayang dengan mereka dan janganlah pula kalian menaati mereka” Ayat diatas menjadikan dalil yang sering digunakan oleh para fuqoha untuk melarang (mengharamkan) kaum Muslim condong kepada penguasa zalim.
Namun demikian, terdapat dalil-dalil lain—berupa sejumlah hadist mengharuskan kaum Muslimin untuk mentaati penguasa, meskipun mereka bersikap zalim. Dalil-dalil mereka tersebut, menurut mereka sebagai takhsish (pengkhususan) dari dalil umum, yaitu ayat diatas.
Oleh karena itu pengkajian terhadap permasalahan ini memerlukan rincian dan penjelasan yang gamblang dan tuntas. Sebab kaum Muslimin si berbagai negeri, saat ini hidup di kungkung di bawah bayang-bayang penguasa mereka yang zalim. Lalu, bagaimana kita menyikapinya? Penguasa itu bermacam-macam:
Ada yang dibai’at oleh kaum Muslimin secara sah untuk di dengar dan ditaati, selama ia menjalankan kitabullah dan Sunn ah Rasul-Nya. Contoh penguasa jenis ini adalah para khulafaur Rasyidin—ridhwaanullah’ alayhim.
Ada penguasa yang di bai’at oleh kaum Muslimin secara sah., yang secara umum menjalankan pemerintahannya sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Akan tetapi, mereka menjalankannya dengan buruk dan masih menzalimi sebagian rakyatnya. Contoh penguasa seperti ini adalah sebagian para khalifah di zaman Bani ‘Umayah, ‘Abasiyah, dan Ustmaniyah.
Ada penguasa yang tidak dibai’at oleh kaum Muslimin secara sah, bahkan ia, merampas kekuasaannya secara paksa, lalu mencari dukungan dan legitimasi dari sebagian rakyatnya. Penguasa jenis ini sama sekali tidak menjalankan pemerintahannya berdasarkan sistem hukum Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Ia bahkan mengambil dan menjalankan sistem perundang-undangan kufur. Contoh penguasa semacam ini adalah para penguasa—yang mengklaim dirinya Muslim---di negeri-negeri kaum Muslim saat ini termasuk di Indonesia tanpa kecuali.
Untuk penguasa jenis pertama, yakni Khulafaur Rasyidin, tidak ada perbedaan pendapat dikalangan kaum Muslim tentang wajibnya menaati penguasa seperti ini, sekaligus bekerjasama dan membantunya.
Untuk Jenis penguasa kedua, yakni penguasa model di jaman Bani Abasiyah, ‘Umayah dan Usmaniyah, juga tidak ada perbedaan pendapat tentang wajibnya menaati penguasa semacam ini, selama kezalimannya belum melampaui batas-batas kekafiran yang nyata. Ini berdasarkan hadis dari Junaadah ibn Abii ‘Umayah, yang berkata:
“Kami pernah mengunjungi ‘Ubaadah ibn Shaamit tatkala ia sedang sakit. Kami berkata kepadanya, “Mudah-mudahan Allah memperbaiki keadaanmu. Sampaikanlah kepada kami sebuah hadis dari Rasulullah saw.”’Ubaadah lalu mengatakan, “Kami pernah dipanggil oleh Rasulullah saw (untuk berbai’at). Kami pun lantas membai’atnya. Nabi saw. Bersabda tatkala berbaiat itu agar kami membaiatnya untuk mendengar dan menaati (penguasa); baik dalam keadaan suka maupun tidak suka, baik dalam keadaan sulit maupun lapang tidak mendahulukan hak-hak kami, dan tidak mengambil kekuasaan dari seorang pemimpin. (Sabda Rasul saw., kecuali jika kalian melihat kekufuran secara nyata, yang dapat dibuktikan di sisi Allah.)”
Untuk jenis penguasa model ketiga yakni model pemerintahan yang mencerminkan gambaran negeri-negeri Islam saat ini, sebagai akibat dicampakkannya sistem hukum Islam, seiring dengan runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah, maka kami bertanya, adakah kezaliman dan kemungkaran yang lebih besar daripada dihentikannya sistem syariah Islam; tersebar luasnya riba; merajalelanya perjudian dan perzinahan; menganggap remeh pelanggaran atas harta, kehormatan, darah kaum Muslimin; bersikap plin-plan dan menipu rakyat; meluasnya kemurtadan dan kesesatan; menghalang-halangi diterapkannya lagi sistem islam, dengan cara memberikan cap negatif para pejuangnya, mengusir, memusuhi, menteror, menahan, menyiksa, membubarkan pengajian dan tabligh nya, membantai para pengemban dakwah Islam?
Lalu, sistem kekuasaan siapa lagi—selain penguasa-penguasa kaum muslim saat ini—yang menjaga dan membiarkan keadaan tadi terus berlangsung?
Sikap Tegas Menyikapi Penguasa Zalim
Dengan demikian, masihkah kita perlu menaati penguasa semacam itu; apalagi membantu, bekerjasama, dan mendukungnya? Untuk itu, renungkan lah sabda Rasulullah saw:
“Akan datang sesudah para penguasa yang suka berbohong dan berlaku zalim. Barangsiapa yang percaya dengan kebohongannya dan membantu kezalimannya itu, maka dia buka dari golonganku, dan aku pun bukanlah termasuk golongannya’ dia tidak akan masuk telaga al-Haudh (disurga).” HR.At-Tumudzii, An-Nasaai, dan Al-Hakim) [abi]
Referensi: Akademi Bela Islam
NB:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menyeru kepada hidayah (jalan petunjuk dan kebaikan), maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana pahala orang yang mengikuti (atau mengerjakan)nya tanpa mengurangi
pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa orang yang mengikuti (mengerjakan)nya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.”. (HR. Muslim no. 6750).
Jika Anda ingin mendapatkan pahala investasi (yakni pahala yang hasilnya terus mengalir meski anda sudah meninggalkannya disebabkan anda menyampaikan sesuatu dari islam dan ada orang yang iktu mengamalkannya pula, maka Anda akan mendapatkan pahala sama tidak kurang atau lebih seperti orang yang mengamalkannya dan terus mengalir meski anda telah mati. Mau?), Maka jangan ragu sampaikan lagi informasi dan kabar gembira SUPER DAHSYAT ini kepada yang lainnya!
SHARE info ini. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim no. 1893) Dengan cara klik tombol sosial media di bawah ini:
Komentar
Posting Komentar